Fisipnews. Zaman semakin maju, kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menuntut daya adaptasi yang tinggi dalam berbagai ruang profesi hingga arena kompetisi diberbagai bidang. Tanpa terkecuali dunia pendidikan tinggi, model pembelajaran non konvensional berbasis TIK yang populer disebut E-Learning pun bisa segera diadopsi pasca 17 tahun digunakannya oleh banyak institusi dan perguruan tinggi. Demikian prolog model e-learning ini disampaikan dalam kegiatan sosialisasi di forum dosen pada 18 November 2014 di aula FISIP Untan.
E-Learning: Kuliah Lebih Efektif
Dalam presentasinya, narasumber mengulas topik e-learning mulai dari sejarah, definisi, konsep dasar, jenis, fungsi, faktor pendukung dan ilustrasi model e-learning yang pernah diterapkan sebelumnya. “E-learning atau pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi baik dikembangkan lewat jalur internet atau ethernet, WAN atau LAN, terpenting bersifat daring, dan open access kapan pun dan dimanapun bisa digunakan oleh pengajar dan peserta didik, sehingga bisa difungsikan sebagai suplemen, komplemen atau bahkan substitusi pembelajaran”. Kata Praktisi e-learning FISIP Untan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Model semacam ini akan berjalan efektif bila pihak terkait merasa butuh dan terbantu dengan aplikasi e-learning yang semakin beragam berbasis web seperti moodle, e-front, caroline, cms myBB, wiki dan sebagainya. Bahkan mesin pencari sekelas Google juga telah meluncurkan Google Classroom yang fungsinya kurang lebih sama yakni membantu pengguna lebih mudah, cepat dan efektif dalam proses pembelajaran.
Terkadang 3 sks terasa kurang dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan tinggi, karena mungkin kadar pemahaman mahasiswa yang berbeda, metode pembelajaran yang kurang interaktif, tingkat partisipasi peserta didik dalam diskusi kelas yang terbatas, tuntutan mengejar materi, dan sebagainya. Belum lagi mobilitas dan tugas-tugas institusi atau Tri Dharma lainnya, yang sangat mungkin berbenturan dengan jadwal mengajar dosen. Problematika semacam itu dapat teratasi dengan memanfaatkan e-learning sesuai fungsi dan porsinya, tanpa meninggalkan model konvensional tatap muka di kelas. Setidaknya ada 3 fungsi e-learning yang bisa dimaksimalkan dalam konteks pembelajaran non konvensional.
Pertama, fungsi suplemen dimana tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk mengakses dan memanfaatkan portal e-learning yang didalamnya terdapat berbagai konten mata kuliah yang diampu dosen. Mahasiswa dapat memperkaya wawasan dan pengetahuannya dari sajian materi, konsultasi dosen (FAQ), dan sejenisnya melalui portal e-learning dosen tersebut sehingga menjadi nilai tambah tersendiri bagi mahasiswa. Kedua, sebagai komplemen. E-learning bisa difungsikan untuk menambahkan atau melengkapi materi yang belum tersampaikan di kelas, atau mungkin dirasakan perlu diperjelas bahkan lewat penugasan-penugasan tambahan kepada mahasiswa. Ketiga difungsikan sebagai substitusi atau pengganti dari perkuliahan kelas yang tertunda, ketika situasi tidak memungkinkan bertatap muka dikelas, e-learning yang dilengkapi fasilitas teleconference semisal hangout, skype dan lainnya bisa dijadikan alternatif tanpa mengurangi sedikit pun bobot perkuliahan konvensional. Dalam prakteknya, sebagai substitusi e-learning bisa melampaui waktu pembelajaran dikelas, bergantung skala interaksi dan intensitas komunikasi dosen dan mahasiswa didalam portal e-learning.
Dari sisi kebijakan, pada 2013 Dikti pernah menerbitkan kebijakan implementasi e-learning pada program studi dalam surat nomor 0251/E3.3/2013 tanggal 28 Januari 2013, substansinya Dikti sedang memetakan kesiapan penerapan metode pembelajaran e-learning pada program studi. Hal ini tentunya semakin mendorong program studi untuk segera bersiap menerapkan dan mengembangkan model pembelajaran e-learning dilingkungan masing-masing. (dd98).
1 Comment